BERFIKIR DAN PENGETAHUAN

Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal.

Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam:

§  Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial)

§  Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu)

§  Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)

 

Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang  dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial).

Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu:

1.             Manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.

2.             Manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya.

Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia (meski kenyataan menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat).

MAKNA PENGETAHUAN

 Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar, sekarang apa yang dimaksud dengan pengetahuan?, menurut Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya hubungan subjek dan objek (Knowledge : relation between object and subject).

Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu.  Sebaliknya subjek yang mengetahui itu dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S Suriasumantri,), Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan  dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang itu hidup (Harold H Titus).

MAKNA BERFIKIR

Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari  anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban.

Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.

Kalau berfikir (penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.

Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental  sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.

Sementara itu Partap Sing Mehra memberikan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.

Menurut Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu:

§  Conception (pembentukan gagasan)

§  Judgement (menentukan sesuatu)

§  Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)

 

Bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan (mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.

Cakupan proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai berikut:

§  Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.

§  Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.

§  Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.

§  Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).

§  Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.

 

Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

 

§  Timbul rasa sulit

§  Rasa sulit tersebut didefinisikan

§  Mencari suatu pemecahan sementara

§  Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.

§  Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental

§  Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.

§  Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental  tentang situasi yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.

 

Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.

MAKNA MENJADI MANUSIA

Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.

Berfikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah  dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).

Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini.

Dalam konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya, para akhli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia yaitu hewan. Secara umum komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari sudut pandang Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan manusia dan karenanya manusia itu adalah suatu mesin.

Kalau manusia itu sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan berperadaban yang tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah melahirkan berbagai pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.

Dengan memahami uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya untuk menunjukan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8).

Dengan demikian nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya hewan, secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti jika manusia dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia untuk berfikir tentang sesuatu yang melebihi pengalamannya seperti keyakinan pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh ajaran Agama. Oleh karena itu carilah ilmu dan berfikirlah terus agar posisi kita sebagai manusia menjadi semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi kehidupan di alam ini.

Meskipun demikian penggambaran di atas harus dipandang sebagai suatu pendekatan saja dalam memberi makna manusia, sebab manusia itu sendiri merupakan makhluk yang sangat multi dimensi, sehingga gambaran yang seutuhnya akan terus menjadi perhatian dan kajian yang menarik, untuk itu tidak berlebihan apabila Louis Leahy berpendapat bahwa manusia itu sebagai makhluk paradoksal dan  sebuah misteri, hal ini menunjukan betapa kompleks nya memaknai manusia dengan seluruh dimensinya.

PILAR KARAKTER DALAM PENDIDIKAN

Pilar Karakter dalam Pendidikan
Oleh: Tabrani. ZA

Pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Kita dapat mengatakan, bahwa di mana ada kehidupan manusia, bagaimanapun juga di situ pasti ada pendidikan (Driyarkara, 1980: 32). Pendidikan sebagai gejala yang universal, merupakan suatu keharusan bagi manusia, karena di samping pendidikan sebagai gejala sekaligus juga sebagai upaya memanusiakan manusia itu sendiri. Dengan perkembangan kebudayaan manusia, timbullah tuntutan akan adanya pendidikan yang terselenggara lebih baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran yang matang. 
Manusia ingin lebih mempertanggungjawabkan caranya dia mendidik generasi penerusnya agar lebih berhasil dalam melaksanakan hidupnya, dalam pertemuan dan pergaulannya dengan sesama dan dunia serta dalam hubungannya dengan Tuhan. Di sinilah muncul keharusan pemikiran teoritis tentang pendidikan. Satu hal yang menjadi jelas dari apa yang disebut pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia. Pengertian demikian, menurut Soedomo (1990: 30), selalu dipegang oleh kalangan pendidikan. Dengan pernyataan lain kalangan pendidikan mencermati pendidikan, di samping sebagai gejala, juga sebagai upaya. Pada gilirannya, pandangan bahwa pendidikan sebagai gejala sekaligus upaya ini melahirkan teori-teori pendidikan (theories of education). 
George F. Kneller (1971: 231), secara jelas memberi arti tentang teori pendidikan. Menurutnya, kata teori mempunyai dua makna sentral. Di satu pihak teori dapat menunjuk suatu hipotesis atau serangkaian hipotesis yang telah diverifikasi dengan observasi atau eksperimen, sebagaimana dalam kasus teori gravitasi. Sebagaimana memandang teori dalam artian ini, teori-teori pendidikan menunggu pengembangan. Di lain pihak teori dapat juga merupakan sinonim umum untuk pemikiran sistematik atau serangkaian pemikiran-pemikiran sistematik atau serangkaian pemikiran-pemikiran yang koheren. Sebagaimana memandang teori dalam artian ini, pendidikan benar-benar telah menghasilkan teori yang banyak sekali. 
Pendidikan adalah hal yang sangat dianggap penting di dunia, karena dunia butuh akan orang-orang yang berpendidikan agar dapat membangun Negara yang maju. Tapi selain itu karakter pun sangat diutamakan karena orang-orang pada zaman ini tidak hanya melihat pada betapa tinggi pendidikan ataupun gelar yang telah ia raih, melainkan juga pada karakter dari pribadi dari setiap orang. Proses pendidikan di sekolah masih banyak yang mementingkan aspek kognitifnya ketimbang psikomotoriknya, masih banyak guru-guru di setiap sekolah yang hanya asal mengajar saja agar terlihat formalitasnya, tanpa mengajarkan bagaimana etika-etika yang baik yang harus dilakukan. Di dalam buku tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman menjelaskan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education). 
Banyak pilar karakter yang harus kita tanamkan kepada anak – anak penerus bangsa, di antaranya adalah kejujuran, kejujuran adalah hal yang paling pertama harus kita tanamkan pada diri kita maupun anak – anak penerus bangsa karena kejujuran adalah benteng dari semuanya. Demikian juga ada pilar karakter tentang keadilan, karena seperti yang dapat kita lihat banyak sekali ketidakadilan khususnya di Negara ini. Selain itu harus ditanamkan juga pilar karakter seperti rasa hormat. Hormat kepada siapapun itu, contohnya adik kelas mempunyai rasa hormat kepada kakak kelasnya, dan kakak kelasnya pun menyayangi adik – adik kelasnya, begitu juga dengan teman seangkatan rasa saling menghargai harus ada dalam diri setiap murid - murid agar terciptanya dunia pendidikan yang tidak ramai akan tawuran. 
Sekarang mulai banyak sekolah – sekolah di Indonesia yang mengajarkan pendidikan karakter menjadi mata pelajaran khusus di sekolah tersebut. Mereka diajarkan bagaimana cara bersifat terhadap orang tua, guru –guru ataupun lingkungan tempat hidup. Mudah-mudahan dengan diterapkannya pendidikan karakter di sekolah semua potensi kecerdasan anak –anak akan dilandasi oleh karakter – karakter yang dapat membawa mereka menjadi orang – orang yang diharapkan sebagai penerus bangsa. Bebas dari korupsi, ketidakadilan dan lainnya. Dan makin menjadi bangsa yang berpegang teguh kepada karakter yang kuat dan beradab. Walaupun mendidik karakter tidak semudah membalikkan telapak tangan, oleh karena itu ajarkanlah kepada anak bangsa pendidikan karakter sejak saat ini. 

Diadopsi dengan sedikit perubahan dari Sumber: http://www.artikelbagus.com/2012/03/artikel-pendidikan-karakter.html

SEKILAS PANDANG TENTANG AL-QUR`AN DAN PENDIDIKAN ISLAM HUMANISME

Sekilas Pandang Tentang Al-Qur`an dan Pendidikan Islam Humanise
By. Tabrani. ZA


Pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif .
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar atau humanism pendidikan. Pembelajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang dibutuhkan anak didik adalah kenyataan. Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira. Education as sosial funcional menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa. Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.
Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban. Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama,Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96: 1-5). Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam, meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang berbudaya. Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa. Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing).
Munculnya berbagai lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini. Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat. Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam. Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor(taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah),absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization). Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.
Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al QurĂ¡n sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresifmenjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktivitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan di dalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan. Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya. Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat di dalam al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

SEMOGA BERMANFAAT